Ciamis – Tak banyak yang tahu, Kabupaten Ciamis memiliki alat musik khas hasil karya seniman lokal. Selain kolotik (kolotik leutik), ada juga alat musik dongkur yang berasal dari Desa Pasawahan, Kecamatan Banjaranyar. Seperti apa dongkur ini?
Alat musik dongkur diciptakan Yayat Hayatul Hasani, seorang tenaga honorer di MI Pasawahan pada tahun 2016. Alat musik ini terbuat dari bambu gombong besar. Nama dongkur akronim dari lodong diukur, itu terinspirasi dari lodong atau bambu yang dipakai untuk menyadap nira.
Dongkur termasuk alat musik ritmis yang fungsinya menyerupai kendang. Dimainkan dengan dua tangan, satu tangan untuk memukul dan satu tangan lagi gunanya menutup buka lubang untuk mengatur nada atau ketukan. Biasanya dimainkan dengan cara kolaborasi dengan alat musik lain seperti angklung calung dan goong tiup.
“Dongkur ini suaranya mirip kendang, terbuat dari bambu. Saat dimainkan ada tiga dongkur, ada indung untuk naga G, ada dongkur anak nada E atau F, ketiga dongkur Alok, sama juga nada tertentu,” ujar Yayat pencipta dongkur, belum lama ini.
Dongkur kini mulai dikenal, mengingat sering dipentaskan dalam sejumlah event atau kegiatan pemerintahan melalui Disbudpora Ciamis. Event itu baik di lokal Ciamis maupun kegiatan di luar daerah seperti Bandung.
Awal Dongkur Diciptakan
Yayat menceritakan awal diciptakannya dongkur. Semula, bambu di tempat tinggalnya cukup melimpah. Namun belakangan Yayat resah karena melihat sejumlah jenis bambu di wilayahnya mulai punah. Alasannya, nama-nama di wilayah Desa Pasawahan diambil dari sejumlah jenis bambu.
“Keresahan saya di Desa pasawahan itu nama blok rata-rata diambil dari nama bambu dengan jenis berbeda dari mana pun. Semacam ada munggang walingi, krinjing dan lainya,” ungkap pria kelahiran Ciamis, 22 September 1986.
Yayat lalu berinisiatif mengajak anak-anak di wilayahnya menanam pohon bambu sambil bermain. Ia juga berkeinginan menciptakan sesuatu yang bermanfaat dari bambu.
Yayat yang memiliki minat terhadap seni tradisional, berkeinginan menciptakan alat musik dari bambu. Alasannya alat musik itu dianggap terjangkau, sederhana dan murah meriah.
Yayat kemudian bertemu dengan Abah Rukmana seorang seniman calung yang diajak tinggal di rumahnya. Yayat pun menceritakan keinginannya membuat alat musik tradisional dari bahan bambu.
“Kebetulan Abah ini ahli calung. Punya gagasan bikin dongkur, jadi tiga dongkur, indung, anak dan Alok,” ucapnya.
Proses pembuatan dongkur memakan waktu hingga empat bulan. Setiap bambu memiliki karakteristik unik tergantung diameter, panjang dan tingkat kekeringannya. Dengan keuletan Yayat, akhirnya dongkur yang memiliki nada suara khas pun tercipta.
“Saya selalu menyediakan bambu untuk produksi dongkur. Kalau kepanasan terlalu panas akan belah atau dipukul kencang akan belah. Jadi harus tahu karakteristik dari bambu itu sendiri, tetap disetel supaya enak didengar,,” tuturnya.
Yayat pun kini mulai mengenalkan dongkur ke anak-anak sekolah untuk menghidupkan kembali musik tradisional. Dongkur tidak hanya sebatas dikolaborasikan dengan alat musik tradisional, namun juga cocok untuk alat musik modern lainnya, sehingga tak lekang oleh kemajuan zaman.
“Harapannya sudah pasti dongkur dikenal masyarakat bisa go internasional. Dijadikan sebagai warisan budaya. Saya melihat dongkur ini sesuatu yang diciptakan siapapun dengan catatan orang itu bisa memahami bagaimana karakter sebuah bambu,” katanya.
Untuk saat ini, alat musik dongkur belum dipatenkan. Kendalanya belum ada penelitian khusus atau karya ilmiah yang mendukung dalam proses administrasi HAKI.
Dikutip dari ( Detikjabar.com )