Bandung – Masyarakat Jawa Barat punya tradisi menyambut Ramadan yang jenis-jenis kegiatannya nyaris serupa antara satu tempat dengan daerah lainnya. Secara umum istilah menyambut Ramadan ini disebut Munggahan. Munggahan berasal dari kata ‘unggah’ yang berarti naik dari satu tempat yang rendah ke tempat yang lebih tinggi. Ada istilah kepada anak-anak yang tidak bisa diam berlarian kesana-kemari, ke atas ke bawah, disebut ‘turun-unggah’ (turun-naik).
Maksud para leluhur menyebut tradisi menjelang Ramadan ini sebagai munggahan adalah masyarakat Sunda naik dari bulan Syaban ke Ramadan. Orang Sunda menyebutnya dari bulan Ruwah ke Puasa.
Tradisi munggahan pada intinya mempersiapkan diri untuk menghadapi kewajiban berpuasa bagi umat Islam selama sebulan penuh. Disiapkan fisik dan rohani untuk ‘naik’ dengan meningkatkan perbuatan ibadah di bulan Ramadan.
Ada banyak cara warga di Jawa Barat melaksanakan munggahan. Ada yang bepergian ke tempat wisata bersama keluarga hingga mandi di aliran sungai. Apa saja kegiatan muggahan itu? Simak artikel ini sampai tuntas yuk!
Asal-usul Munggahan
Sebagaimana diutarakan di awal, istilah ‘Munggahan’ berasal dari kata ‘unggah’ yang berarti naik. Menurut Tata Twin Prehatinia dan Widiati Isana dalam jurnal di UIN Sunan Gunung Djati Bandung berjudul “Perkembangan Tradisi Keagamaan Munggahan Kota Bandung Jawa Barat Tahun 1990-2020”, kata unggah pada mulanya berkaitan dengan arwah leluhur.
Namun, seiring dengan masuknya Islam di tatar Sunda terjadi penyesuaian-penyesuaian yang selaras dengan nilai tradisi Sunda dan Islam.
“Munggah berasal dari kata unggah yang berarti naik atau meningkat, yang konon pada zaman dahulu roh dan arwah nenek moyang atau kerabat yang sudah meninggal. Sesuai dengan pengertiannya, kata munggah tersirat arti perihal perubahan ke arah yang lebih baik yang berasal dari bulan sya’ban menuju bulan Ramadhan untuk meningkatkan kualitas iman kita saat sedang berpuasa dalam bulan Ramadhan.” tulis jurnal itu.
Munggahan dilaksanakan masyarakat pada beberapa hari menjelang masuknya bulan Ramadan. Biasanya sepekan sebelum puasa berlangsung. Masyarakat bisa melakukan munggahan dalam sebuah rangkaian. Misalnya, didahului dengan berziarah, kemudian berwisata, hingga bersantap makanan bersama.
5 Kegiatan Munggahan untuk Menyambut Ramadan
1. Pergi ke Tempat Wisata
Di wilayah Cianjur-Sukabumi lebih sering digunakan kata ‘Papajar’ untuk kegiatan menyambut bulan Ramadan ketimbang ‘Munggahan’. Misalnya di Kabupaten Cianjur, masyarakat senang menghabiskan hari-hari menjelang datangnya bulan puasa dengan berwisata ke Waduk Jangari di Kecamatan Mande.
Di tempat ini, orang bisa menikmati sensasi berperahu di perairan yang merupakan bagian dari Waduk Cirata itu. Bisa juga memancing, atau memesan ikan bakar yang disajikan sebagai teman nasi hangat.
Kunjungan wisata ke Waduk Jangari, sebagaimana dilansir detikJabar pada 2023 memang sedikit menurun, terhitung pascaCOVID19 melanda. Namun, bagi warga Cianjur, papajar seakan menjadi keharusan dan jangari merupakan lokasi wisata yang murah meriah serta tidak terlalu jauh dari pusat kota.
Papajar tidak elok dilakukan seorang diri atau berdua hanya dengan suami atau istri. Papajar tradisinya dilakukan bersama keluarga besar. Di lokasi yang dituju, masyarakat ‘memuaskan’ diri dengan makanan dan bersenang-senang, di mana hal tersebut tidak bisa dilakukan jika mereka sedang menjalani puasa Ramadan.
Di Kota Bandung, tradisi Munggahan justru dikatakan memudar. Sebagaimana diungkapkan Tata Twin Prehatinia dan Widiati Isana berdasar hasil wawancara dalam penelitian mereka, perkembangan teknologi di antaranya menjadi sebab tradisi munggahan di Kota Bandung luntur, utamanya terhitung sejak tahun 2010.
“Munggahan pada zaman sekarang sudah berbeda dengan zaman dahulu, karena sudah perkembangan teknologi yang semakin meningkat. Terutama bagi kaum milenial zaman sekarang ini tentunya tradisi Munggahan sudah jarang dilakukan lagi oleh mereka. Bahkan masyarakat tradisional yang sudah berusia kepala atas pun sudah mulai menghilangkan tradisi Munggahan dalam kebiasaannya.” tulis jurnal itu.
2. Berziarah ke Makam Orang Tua
Masyarakat di Jawa Barat percaya kepada hadis nabi bahwa orang Islam itu terputus catatan amal kebaikannya kecuali tiga: Sedekah jariah, ilmu yang berguna, dan anak saleh yang mendoakan orang tua.
Anak-anak saleh yang mendoakan orang tua itu di antaranya terejawantahkan dalam tradisi berziarah ke makam orang tua. Pada masa-masa munggahan, ziarah menjadi kegiatan penting yang dilakukan masyarakat di Jawa Barat.
Ada ziarah yang dibalut dalam tradisi khusus seperti dalam Tradisi Nyepuh di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis. Mulanya, tradisi nyepuh dilakukan setiap pekan selama bulan Rewah atau Sya’ban. Kegiatannya dimulai dari membersihkan lingkungan seperti selokan dan halaman, lalu diakhiri pada pekan terakhir dengan membersihkan makam leluhur.
Pada sehari menjelang Ramadhan, warga akan datang ke kompleks pekuburan yang telah dibersihkan itu. Mereka membawa bahan masakan seperti daging ayam dan sapi. Lalu bahan itu dimasak dan setelah matang, semua berdoa bersama.
Yeni Wijayanti dan Ai Wulan dalam penelitian berjudul “Tradisi Nyepuh di Desa Ciomas Kecamatan Panjalu Kabupaten Ciamis” yang dimuat Jurnal Artefak, Vol. 2 No. 1, Maret 2014 menyebutkan, selesai berdoa, mereka akan kembali ke rumah dengan membawa hasil masakan itu untuk disantap keesokan hari ketika sahur hari pertama bulan Ramadhan.
3. Makan Bersama Nasi Liwet
Tradisi Munggahan juga bisa dilakukan dengan sebatas menanak nasi dengan teknik liwet. Yaitu, menanak nasi pada kastrol di atas tungku lalu menyantapnya bersama keluarga.
Liwet memang bukan sebatas nasi putih biasa. Liwet ditanak dengan sejumlah bumbu. Yang paling sederhana, ditambahkan pada liwet daun-daun wangi seperti daun salam, batang serai, dan kadangkala ditambahkan minyak.
Sebagai lauknya, disajikan tahu dan tempe goreng, lalapan, sambal tomat atau sambal terasi, ikan asin, petai, hingga jengkol goreng. Liwet kemudian disantap bersama-sama di atas alas berupa selembar daun pisang.
4. Mengunjungi Sanak Saudara
Banyak orang mengimani bahwa untuk menghadapi bulan Ramadan kondisi diri harus bersih dari kotoran dan dosa. Bersih dari kotoran secara harfiah membersihkan badan dari kondisi kotor, dan bersih dari dosa adalah menjauhi dosa-dosa personal dan dosa sosial.
Dosa personal bisa dimintakan ampunannya dengan cara beristigfar, memohon kemurahan Allah SWT untuk mengampuni. Tetapi, dosa sosial ya terjadi antara orang dengan orang lain, harus dimintakan maafnya kepada orang yang bersangkutan.
Karena itulah, pada Munggahan ada orang yang berkeliling ke rumah-rumah sanak famili, untuk menyambung silaturahmi dan meminta maaf, barangkali ada kesalahan yang dilakukan terasa ataupun tidak.
5. Mandi Besar
Mandi besar di sini maksudnya mandi junub, tetapi karena mandi besar ditradisikan juga untuk anak-anak kecil yang belum mencapai kondisi ‘baligh’, tersebutlah menjadi Mandi Besar.
Jika nanti malam akan dimulai tarawih dan esok mulai puasa, maka di pagi hari menjelang tarawih itu biasanya anak-anak hingga dewasa diminta untuk mandi besar. Ini menjadi bagian dari tradisi Munggahan.
Mandi besar pada masa-masa ketika kondisi alam masih terjaga biasanya dilakukan di sungai-sungai yang airnya jernih. Air sungai yang segar dan udara dingin membuat siapapun yang mandi menjadi segar bugar badannya. Kondisi badan bugar membuat siapapun lebih siap menghadapi puasa.
Di Kabupaten Ciamis, istilah khusus untuk kegiatan ini disebut ‘Kuramasan’. Kuramas berarti berkeramas. Mandi Kuramasan lebih mirip adus atau mandi janabat. Namun, tradisi ini dilakukan uga oleh anak-anak yang mungkin belum mengenal janabat. Tradisi Kuramasan dilakukan oleh semua orang.
Dewi Ratna dalam studi berjudul “Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Tradisi Misalin di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis” di Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Galuh Ciamis menyebutkan tradisi Kuramasan hidup juga di Cimaragas, berkelindan dengan tradisi Misalin.
“Diadakan juga acara kuramasan untuk anak-anak kecil atau pinggir sungai Citanduy (Parung Ayu). Kuramasan ini adalah upacara membersihkan diri untuk menyambut Ramadhan. Selain dari masyarakat Salawe, bahkan masyarakat lain pun biasanya melakukan kuramas sehari sebelum bulan Ramadhan atau lebih identik dengan adus. Supaya ketika menginjak bulan Ramadhan sudah kembali suci,” tulis Dewi Ratna.
Demikian kegiatan munggahan di Jawa Barat dalam situasi menyambut datangnya bulan Ramadan.