Breakingnewsbandung.com – MAKKAH (Kemenag) | Dulu, banyak jemaah haji yang menjalankan ibadah dengan cara yang mempersulit diri sendiri, bahkan cenderung tidak manusiawi. Hamka , ulama besar Indonesia yang menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya pada tahun 1950, menyampaikan keprihatinannya terhadap pemahaman sempit sebagian jemaah haji Indonesia terkait masalah agama.
“Kesempitan-kesempitan faham seperti inilah yang sering ditemui dalam perjalanan mengerjakan haji ini. Dalam perjalanan sudah dibolehkan mengqasar salat, serta menjamak salat, seperti menyatukan salat Zuhur dengan Asar, dan Magrib dengan Isya. Namun masih banyak yang enggan melaksanakan aturan ini,” ungkap Hamka dalam tulisannya di buku Naik Haji di Masa Silam II (2019: 778).
Hamka melanjutkan, “Mereka tetap salat setiap waktu dengan jumlah rakaat lengkap. Katanya, dengan begitu mereka memenuhi ajaran agama, padahal justru merekalah yang mempersempit ajaran agama.”
Saat ini, ketika jumlah jemaah haji semakin bertambah, sementara pengembangan fasilitas di situs-situs haji seperti Arafah, Muzdalifah, dan Mina belum sepenuhnya memadai, kesempitan wawasan fikih haji seharusnya tidak lagi terjadi.
Kejadian luar biasa sering kali muncul tanpa diduga selama pelaksanaan haji. Misalnya, pada puncak wukuf di Arafah tanggal 9 Zulhijah lalu, sebagian jemaah tidak kebagian tenda karena keterbatasan kapasitas. Kementerian Haji Arab Saudi kemudian mengevakuasi mereka ke tenda cadangan milik kerajaan. Malam harinya, mereka langsung dipindahkan (tanazul) ke hotel, tanpa harus mabit di Muzdalifah dan Mina. Beberapa jemaah merasa ragu atas keabsahan hajinya dan bertanya, “Harus bayar Dam?”
Ada juga jemaah yang terpaksa berjalan kaki dari Muzdalifah ke Mina karena bus tak kunjung tiba, hingga kakinya melepuh. Setelah melempar jumrah Aqabah, mereka memilih istirahat di hotel dan tidak mabit di Mina. Lagi-lagi, ada pembimbing ibadah yang berkata, “Bayar Dam.”
Lebih parah lagi, banyak jemaah yang memaksakan diri melempar jumrah meskipun kondisi kesehatannya tidak memungkinkan, bahkan mengancam jiwa. Ada ustadz yang berkomentar, “Hajinya tidak sempurna.” Padahal, melempar jumrah dapat diwakilkan (badal) kepada orang lain jika kondisi fisik tidak memungkinkan.
Inilah tugas para pemimpin agama, kyai, dan ustadz untuk memberikan pemahaman kepada jemaah agar tidak ragu menjalani fikih haji yang memudahkan (taysir ), meski bukan berarti menggampangkan (tasahhul ). Dalam kasus seperti di atas, jemaah tidak perlu ragu bahwa ada ulama yang berpendapat mabit di Muzdalifah dan/atau Mina hukumnya sunnah, sehingga tidak wajib membayar Dam.
Di tengah kompleksitas pelaksanaan haji yang luar biasa (extraordinary ), prinsip utama yang harus diutamakan adalah nilai-nilai kemanusiaan: menjaga jiwa (hifz al-nafs ), mengurai kesulitan (taysir al-masyaqqah ), dan menghilangkan ancaman (izalat al-darar ).
Dalam manuskrip Boekoe Woelang Haji , Raden Muhamad Husen , seorang penghulu di Karawang pada tahun 1873, memberikan pesan bijak kepada para calon jemaah haji (Suryadi, dalam Naik Haji di Masa Silam I , hlm. 429):
Mengerti dahulu sebelum pergi
sungguh belajar sore dan pagi
karena syaratnya beberapa bagi
supaya diri janganlah rugi
Kita membutuhkan penerapan fikih haji yang manusiawi agar jemaah dapat menjalankan ibadah dengan aman, nyaman, dan mabrur.
Oman Fathurahman
(Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pengampu Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara)
Sumber: kemenag.go.id