Breakingnewsbandung.com – JERUSALEM | Yitzhak Rabin, mantan Perdana Menteri Israel dan mantan panglima militer negara tersebut, dikenal sebagai tokoh yang berani melakukan pendekatan damai dengan Palestina. Ia merupakan satu-satunya pemimpin Israel yang secara terbuka bersalaman dengan pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, dalam sebuah momen historis di Gedung Putih tahun 1993.
Rabin pernah menjabat sebagai PM Israel pada dua periode, yaitu 1974–1977 dan 1992–1995. Sebelum menjadi pemimpin sipil, ia juga aktif sebagai militer karier dan terlibat langsung dalam sejumlah konflik besar, termasuk Perang Enam Hari tahun 1967. Namun, pengalamannya selama Intifada pertama membuatnya menyadari bahwa kekerasan tidak bisa menjadi solusi permanen untuk konflik dengan warga Palestina.
Sebagai hasil refleksi itu, Rabin mulai melunak dan sepakat untuk terlibat dalam proses perdamaian yang diinisiasi oleh Amerika Serikat. Hasilnya, tercapailah Perjanjian Oslo I pada September 1993 dan Oslo II pada tahun 1995, yang membuka jalan bagi pembentukan otoritas Palestina dan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Palestina.
Namun, langkah bersejarah ini memicu kemarahan sebagian kelompok Yahudi radikal. Dua bulan setelah Oslo II ditandatangani, tepatnya pada 4 November 1995, Rabin ditembak saat meninggalkan sebuah acara umum di Tel Aviv oleh seorang mahasiswa fanatik Yahudi bernama Yigal Amir , yang menolak keras ide perdamaian dengan Palestina.
Akibat pembunuhan itu, momentum perdamaian antara Israel dan Palestina pun pudar. Proses rekonsiliasi terhenti, dan sikap moderat yang dibawa Rabin digantikan kembali oleh politik keras pemerintahan berikutnya.
Kematian Rabin hingga kini masih menyisakan luka mendalam bagi upaya perdamaian Timur Tengah. Foto jabat tangan dengan Arafat yang disaksikan langsung oleh Presiden AS Bill Clinton tetap menjadi simbol harapan akan perdamaian yang tak kunjung terwujud.
Sumber: cnnindonesia.com