Breakingnewsbandung.com – JAKARTA | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menelusuri dugaan korupsi senilai Rp13,3 miliar yang melibatkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Provinsi Jawa Barat. Laporan ini berasal dari Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber), yang telah diverifikasi oleh KPK dan siap ditindaklanjuti.
Dalam audiensi resmi di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (18/6/2025), sejumlah lembaga antikorupsi menyampaikan temuan mereka terkait penyelewengan dana zakat dan hibah APBD yang diduga digunakan untuk kepentingan pribadi pimpinan BAZNAS Jabar.
M. Rafi Saiful Islam, Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung, menjelaskan bahwa harapan besar tertuju pada KPK untuk segera menuntaskan investigasi dan memberikan keadilan dalam kasus ini.
“Kami berharap laporan ini segera ditindaklanjuti secara profesional oleh KPK,” ujarnya seusai audiensi.
Menurut hasil investigasi yang dilakukan oleh ICW dan mitra koalisi, dugaan korupsi mencakup dua sumber utama:
- Penyalahgunaan dana zakat sebesar Rp9,8 miliar , melalui pengambilan biaya operasional melebihi batas maksimal yang diizinkan oleh regulasi.
- Penggelapan dana hibah APBD sebesar Rp3,5 miliar , yang semula dialokasikan untuk penanggulangan pandemi, tetapi diduga tidak tersalurkan sesuai ketentuan.
Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti modus yang digunakan, yaitu pengambilan biaya operasional hingga 20% dari total dana zakat yang dikumpulkan, padahal aturan hanya memperbolehkan maksimal 12,5% sesuai Keputusan Menteri Agama No. 606 Tahun 2020 dan Peraturan BAZNAS No. 1 Tahun 2016.
Sebagian besar dana operasional ini disinyalir digunakan untuk fasilitas pribadi pimpinan BAZNAS, seperti sewa mobil mewah yang naik drastis dari Rp11 juta (2020) menjadi Rp493 juta (2022) , pembelian laptop dan smartphone , hingga perekrutan sopir dan staf yang disebut-sebut sebagai kerabat dekat pimpinan.
Selain itu, gaji karyawan BAZNAS Jabar juga meningkat tajam dari Rp1,5 miliar (2020) menjadi Rp3,3 miliar (2022) . Honorarium pimpinan pun naik 121% , dari rata-rata Rp13 juta per bulan menjadi Rp30 juta per orang per bulan .
Ironisnya, dana hibah APBD yang seharusnya digunakan untuk penanganan darurat COVID-19 ternyata banyak tidak tersalurkan atau disalahgunakan untuk kelompok tertentu, bukan warga yang membutuhkan.
Tidak hanya soal dana, TY , mantan Kepala Kepatuhan Internal BAZNAS Jabar yang membongkar praktik ini, malah ditetapkan sebagai tersangka atas dasar Pasal 32 UU ITE. Menurut Direktur Eksekutif SafeNet, Nenden Sekar Arum, hal ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap whistleblower yang bertentangan dengan prinsip perlindungan pelapor korupsi.
“Ini pelanggaran serius terhadap Pasal 10 ayat (12) UU No. 31 Tahun 2014, yang melarang pelaporan balik kepada pelaku whistleblowing sebelum laporan diselesaikan. Ini juga bertentangan dengan Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia,” tegasnya.
KPK sendiri menyatakan keprihatinannya atas kasus ini dan mendesak agar sistem perlindungan bagi pelapor korupsi segera diperbaiki. Sebab, jika pelapor justru dibungkam, maka upaya pemberantasan korupsi akan sulit berkembang.
Sementara itu, Danang Widoyoko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII), menegaskan bahwa Indonesia tidak bisa membangun citra antikorupsi jika pelapor malah diproses pidana.
“Indonesia harus taat pada komitmen internasional, salah satunya UNCAC, yang mewajibkan negara melindungi pelapor. Ini bukan hanya soal satu kasus, tapi tentang integritas sistem antikorupsi nasional,” ujarnya.
Koalisi antikorupsi pun mendesak pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk menghentikan kriminalisasi terhadap TY dan fokus pada penyelidikan dugaan korupsi yang lebih substansial.
Sumber: pikiran-rakyat.com
 
 



 
