Bandung – Sebuah tragedi memilukan pernah terjadi di Bandung, Jawa Barat (Jabar) pada zaman kolonial. Seorang juragan bioskop bernama JFW de Kort, tewas dan ditemukan bersimbah darah di rumahnya setelah menjadi korban perampokan.
Kematian de Kort direportasekan surat kabar Hindia Belanda, de Preangerbode pada 3 Januari 1956. Sang juragan bioskop itu pertama kali ditemukan seorang pejalan kaki dalam kondisi tak bernyawa di rumahnya, Jalan Kejaksaan, Braga, Kota Bandung.
JFW de Kort merupakan pria kelahiran Amsterdam, Belanda, yang sudah menetap di Bandung selama puluhan tahun. Ia menjadi pengusaha hiburan, salah satunya dengan membangun bioskop Radio City pada 1925 bersama Thio Tjoan Tek.
Saat bisnisnya sedang melambung tinggi, tragedi memilukan itu pun terjadi. Di usianya yang 52 tahun, JFW de Kort ditemukan tak bernyawa dengan kondisi bersimbah darah. Setelah kabar itu menyebar, kepolisian setempat saat itu langsung turun tangan ke lokasi kejadian.
“Kejahatan itu awalnya dilaporkan oleh seorang pejalan kaki yang menemukan jejak darah di depan pintu rumah Tn. de Kort sekitar pukul tujuh,” demikian reportase de Preangerbode berjudul Moord in het stadscentrum J.F.W. de Kort di arsip delpher.nl.
JFW de Kort pertama kali ditemukan tergeletak di dekat pohon natal di dalam rumahnya. Koran de Preangerbode saat itu menulis terdapat luka tusuk di tubuh de Kort hingga mengasumsikan ia merupakan korban pembunuhan.
Pasalnya, di kamar tidur de Kort, saat itu kondisinya amat berantakan. Puluhan potong pakaian berserakan, lemari pun sudah dalam kondisi kosong dan ditemukan belati di lokasi kejadian.
“Rupanya pelaku telah membilas jasadnya di bawah keran kamar mandi, sebab air di wastafel tersebut berwarna merah karena darah,” tulis laporan de Preangerbode.
Pembunuhan JFW de Kort ini ternyata membuat polisi kesulitan untuk mendapatkan titik terang. Salah satu rintangannya, sebagaimana ditulis de Preangerbode pada 4 Januari 1956, adalah de Kort hidup seorang diri di Bandung tanpa memiliki keluarga.
Alhasil, polisi saat itu hanya bisa mensterilkan rumah de Kort untuk kepentingan penyelidikan. Jasadnya pun ketika itu dikebumikan di salah satu tempat pemakaman di Bandung yang sekarang dikenal dengan nama TPU Pandu.
“Salah satu kesulitan yang dihadapi polisi dalam kasus ini adalah kenyataan bahwa korban tidak memiliki keluarga, kecuali seorang saudara laki-laki yang tinggal di Belanda, dan juga tidak ada hubungan keluarga dekat lain yang diketahui yang dapat terlibat dalam harta warisan dan penyelesaian lebih lanjut dari kasus menyedihkan ini,” tulis de Preangerbode.
Kemudian, dari hasil penyelidikan, de Preangerbode menulis bahwa sejumlah benda berharga milik JFW de Kort telah hilang. Selain sejumlah uang, jam tangan merk Rolex milik korban juga tidak ditemukan.
Beberapa hari setelah itu, de Preangerbode pada 10 Januari 1956 melaporkan ada penangkapan besar-besaran terhadap 55 orang terkait pembunuhan JFW de Kort. Di antaranya, 35 orang gabungan pemuda lokal dan Tionghoa, serta lima orang Eropa.
Namun, karena kurangnya bukti, semua orang yang ditangkap ini lalu dikabarkan dilepas polisi. Sebulan kemudian, tepatnya pada 16 Februari 1956, seorang pembunuh sesungguhnya bernama Haroen Ilham Sedjati, diciduk dengan tuduhan telah mengeksekusi JFW Kort.
Haroen merupakan pemuda asal Solo yang saat itu berusia 21 tahun. Ia ditangkap di kawasan Jalan ABC, Kota Bandung ketika hendak menjual jam tangan Rolex milik de Kort. Dari hasil pemeriksaan, Haroen ternyata sudah merencanakan pembunuhan itu karena menyimpan dendam kepada sang juragan bioskop.
Haroen lalu divonis 15 tahun penjara dan dijebloskan ke Lapas Banceuy, Kota Bandung. Tapi, baru setahun menjalani hukumannya, de Preangerbode melaporkan bahwa Haroen mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di dalam lapas.