Breakingnewsbandung.com – JAKARTA | Eskalasi konflik antara Israel dan Iran tidak hanya memicu gejolak di pasar energi global, tetapi juga berpotensi mengubah kebijakan moneter Amerika Serikat. Lonjakan harga minyak akibat ketegangan geopolitik ini menjadi perhatian serius bagi bank sentral AS (Federal Reserve) dalam merancang kebijakan suku bunga di masa mendatang.
Menurut Chief US Economist Oxford Economics, Ryan Sweet, kenaikan harga minyak dunia dapat mendorong Federal Reserve untuk menurunkan suku bunga lebih cepat dari jadwal, terutama jika tekanan pada pertumbuhan ekonomi semakin nyata. Ia menyebut bahwa meskipun inflasi akibat lonjakan energi bersifat sementara, dampaknya terhadap permintaan dan lapangan kerja bisa lebih parah dalam kondisi ekonomi AS yang sedang melambat.
“Kami khawatir eskalasi harga minyak yang berkelanjutan akan memberi pukulan ganda—bukan hanya pada inflasi, tapi juga pada pertumbuhan dan tenaga kerja,” ujar Sweet seperti dikutip Yahoo Finance , Rabu (18/6/2025).
Harga minyak Brent sempat menembus USD 75 per barel setelah Presiden Donald Trump menyatakan penolakannya atas rencana gencatan senjata antara Israel dan Iran. Sementara itu, harga WTI bertahan di level USD 74 per barel. Lonjakan ini menjadi awal dari kekhawatiran baru terkait potensi gangguan pasokan dan ancaman stagflasi global.
Meski The Fed umumnya fokus pada indeks inflasi inti yang tidak mencakup energi, kenaikan harga minyak mentah yang berkelanjutan dikhawatirkan dapat memicu kenaikan biaya produksi dan harga barang lainnya melalui rantai pasokan.
Stephen Juneau, Senior Ekonom Bank of America, menyebut skenario terburuk konflik ini bisa memicu stagflasi — kombinasi inflasi tinggi dan resesi — yang akan memperberat keputusan kebijakan moneter AS.
Ancaman terbesar lainnya datang dari kemungkinan penutupan Selat Hormuz , jalur strategis pengangkutan minyak dunia. Jika terjadi blokade atau insiden militer besar-besaran di selat tersebut, maka sekitar 18–19 juta barel minyak per hari akan terganggu, sehingga harga minyak bisa melonjak hingga USD 130 per barel .
Peter Sand, Chief Analyst Xeneta Research, menilai pengalihan rute perdagangan akibat konflik akan menaikkan biaya pengiriman secara signifikan, karena kapal harus mengambil jalur alternatif yang lebih panjang dan berisiko.
Dengan Timur Tengah sebagai produsen minyak utama dunia, analis pun mulai memperingatkan adanya risiko yang lebih luas jika konflik membawa negara-negara tetangga ikut terlibat, termasuk ancaman terhadap infrastruktur minyak di wilayah tersebut.
Saat ini, semua mata tertuju pada rapat FOMC (Komite Pasar Terbuka Federal) mendatang, apakah The Fed akan merevisi proyeksi pemangkasan suku bunganya akibat tekanan harga energi yang terus meningkat.
Sumber: liputan6.com