Pangandaran – Malam itu, suara gamelan, kendang, dan goong diiringi alunan kecapi berpadu merdu. Pria berpakaian hitam dengan ditutup sarung berjalan di depan panggung.
Ada enam pria mengenakan sarung berkeliling di depan panggung menari seirama. Disusul empat penari perempuan mengenakan kebaya merah.
Setelah itu, satu sinden berdiri di tengah para penari sembari melantunkan merdu syair-syair syahdu. Pertunjukan itu bernama tari ronggeng amen.
Ronggeng amen merupakan tari tradisional khas Kabupaten Pangandaran yang berkembang menjadi tampilan seni pertunjukan akbar. Para pemain musik dan penarinya dilakukan dengan banyak orang.
Budayawan Pangandaran Rangga Rineka Pawa atau akrab disapa Abah Dalang mengatakan, ronggeng amen merupakan salah satu kesenian Sunda yang cikal-bakalnya dari ronggeng gunung.
Ronggeng gunung ini lahir di Kabupaten Pangandaran. Lahirnya seni pertunjukan ini berasal dari cerita rakyat atau babad.
“Jadi dari Babad Pananjung ‘Ngadeg Tumenggung’ lahirnya ronggeng gunung.Ronggeng gunung ini langsung dimodifikasi oleh para seniman, budayawan dan diperlengkapi oleh alat musik atau waditra sehingga menjadi adegan ronggeng amen,” kata Rangga kepada detikJabar belum lama ini.
Menurutnya, dari sisi tarian, ronggeng gunung saat ini menjadi dua macam, yakni tarian ronggeng gunung dan ronggeng amen.
“Kalau ronggeng gunung waditra (alat musiknya) hanya ada kendang, ketuk sama kempul. Sementara itu, ronggeng amen alat musiknya dimodifikasi atau ditambahkan, lebih dari itu bukan hanya menjadi suatu tarian persembahan penyambutan, tetapi menjadi suatu pagelaran yang akbar,” ucapnya.
Sementara itu, ronggeng gunung biasanya lebih eksklusif menjadi suatu tarian penghormatan tamu tamu kenegaraan ataupun instansi pemerintahan.
Tari ronggeng gunung mempunyai dua macam tarian yang digerakkan dalam setiap pertunjukan. “Jadi dalam segi tariannya juga ronggeng gunung itu ada dua macam, ada gerakan jaipong dan pencak silat,” terangnya.
Dalang wayang golek di Pangandaran itu menyebutkan ronggeng amen saat ini dipertunjukan untuk kegiatan pemerintah ataupun festival kebudayaan.”Kalau di Pangandaran alhamdulillah seni tradisional ronggeng gunung ini menjadi daya tarik utama setiap kali ada event di pemerintahan,” ucapnya.
Ia mengatakan, para pemain ronggeng gunung biasanya laki-laki yang memakai sarung dan iket Sunda. “Jadi kalau dulu memang ciri khasnya seperti itu,” ucapnya.
Adapun setiap gerakan tari dan alunan musik yang ditabuh memiliki nilai filosofi hidup yang mendalam. “Contohnya gerakan memutar para penari ronggeng itu bergerak secara bersamaan,” katanya.
Kata dia, ronggeng gunung ataupun ronggeng gunung memiliki nilai wirasa, wirama, dan wiraga (wiraga berkaitan dengan gerak tari, wirama menyangkut dengan irama musik dan gerak, serta wirasa bersangkut paut dengan isi dari tari itu sendiri).
“Kalau dalam bahasa Sundanya juga sareundeuk sabobot sapihanean (selalu bersama-sama, rukun, dan saling menghargai). Jadi gerakan-gerakan itu sama kalau kita gerakan ke dalam semua ikut ke dalam, kalau gerakan keluar ikut keluar. Artinya ini melambangkan suatu filosofi yang luar biasa bentuk gotong royong dan kebersamaan,” ucapnya.