Sukabumi – Dedikasi seorang guru sering kali tak lepas dari perjuangan panjang yang penuh tantangan. Empan Supandi (51), seorang guru honorer di MTs Thoriqul Hidayah, adalah contoh nyata dari semangat tak kenal lelah demi mencerdaskan generasi muda.

Warga Kampung Cigoha, Desa Jampang Tengah, Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi ini rela menempuh perjalanan sejauh 12 kilometer setiap hari, hanya dengan berjalan kaki, untuk mengajar anak-anak di Desa Bojong Tipar.

MTs Thoriqul Hidayah didirikan oleh temannya pada tahun 2011. Saat itu, Empan ingin bergabung sebagai pengajar, tetapi sempat ditolak karena belum pernah kuliah. Namun, tekadnya yang besar membuatnya terus berusaha.

“Kata teman saya, sambil berjalan saja melaksanakan pendidikan sampai kuliah. Tapi sampai sekarang, jangankan buat kuliah, kebutuhan sehari-hari di rumah saja semakin morat-marit,” cerita Empan kepada detikJabar di kediamannya, Jumat (17/1/2025).

Meski kondisi ekonomi keluarga sulit, semangat Empan untuk mengajar tak pernah pudar. Baginya, perjalanan jauh setiap hari bukanlah alasan untuk menyerah.

“Saya ingin berjuang demi bangsa dan negara,” ujarnya.

Setiap pagi, ia berjalan kaki selama tiga jam menuju sekolah, sering kali melalui jalan berbatu dan licin jika hujan. Perjalanan itu dimulai sejak subuh. Empan harus tiba di sekolah pukul 8 pagi, meskipun cuaca kadang tak bersahabat. Baginya, kewajiban memberikan ilmu kepada anak-anak jauh lebih penting daripada rasa lelah yang dirasakannya.

“Kalau hujan, pasti terlambat. Tapi berapa pun jamnya, saya tetap siap mengajar,” ujarnya.

Dulu, Empan mengajar tiga mata pelajaran sekaligus, yakni PKN, SKI, dan Bahasa Inggris. Namun, seiring bertambahnya tenaga pengajar di yayasan, kini ia hanya memegang satu mata pelajaran.

“Kami juga sudah lelah. Tapi kalau tidak ada yang mau ambil, ya saya tetap mengajar. Karena kewajiban saya memberikan ilmu kepada anak-anak,” jelasnya.

Honor yang ia terima sebagai guru honorer hanya sebesar Rp200 ribu per bulan. Jumlah itu tentu jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Meski begitu, ia tetap bersyukur dan berusaha mengelola uang tersebut sebaik mungkin.

“Cukup? Ya gimana, cukup nggak cukup, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya. Dulu pertama kali jadi honorer Rp250 ribu per tahun, sekolah ini kan swasta, jadi tergantung banyaknya siswa. Saya juga menyadari kondisi itu,” kata Empan.

Waktu yang tersita untuk perjalanan dan mengajar membuatnya tak lagi bisa mencari penghasilan tambahan. Ia kini hanya fokus mengajar, mengandalkan satu-satunya sumber penghasilan dari yayasan.

“Kalau dulu, saat libur, saya suka jualan sayuran dengan memikul ke pasar. Tapi sekarang sudah tidak sempat,” katanya.

Empan juga merasa minder karena statusnya yang masih honorer dan belum memiliki gelar S1. “Untuk simpatika, kalau nggak S1, nggak bisa lolos. Jujur, saya merasa minder. Tapi kalau ada rezeki dan waktu, saya siap kuliah demi mengamalkan ilmu,” ungkapnya.

Dedikasi Empan sebagai guru juga tercermin dari semangatnya dalam mendidik anak-anak. Meski lelah, ia tak pernah mengeluh. Baginya, pendidikan adalah jalan untuk membangun masa depan yang lebih baik, baik bagi anak-anak maupun untuk dirinya sendiri.

Perjalanan panjang yang ia lalui setiap hari, honor yang kecil, dan keterbatasan yang ada tidak pernah membuat Empan menyerah. Ia percaya bahwa setiap kebaikan yang dilakukan akan memberikan hikmah di kemudian hari.

“Kami punya prinsip, kita berbuat baik, insyaallah ke depannya ada hikmah,” tutupnya dengan senyum penuh harapan.

Share.
Leave A Reply

Exit mobile version