Breakingnewsbandung.comBANDUNG | Di tengah genosida yang terus berlangsung di Gaza , para jurnalis Palestina tetap bertahan menjalankan tugas mereka. Bukan hanya sebagai penyampai kabar, mereka juga menjadi saksi sekaligus korban dari kehancuran yang melanda tanah kelahiran mereka sendiri.

Salah satu kisah pilu datang dari Youmna Al Sayed , seorang jurnalis dari Al Jazeera English , yang meliput keganasan serangan Israel di Gaza setelah peristiwa 7 Oktober 2023 . Ia menceritakan pengalamannya saat laporan langsungnya tiba-tiba terinterupsi oleh ledakan misil yang menghancurkan sebuah gedung bertingkat di belakangnya tahun lalu.

“Peristiwa itu sangat menyeramkan. Setiap kali saya melihat rekaman video itu di internet, saya masih merasakan kepanikan yang sama seperti waktu itu. Namun, apa yang kita lihat di layar tidak sampai sepersepuluh dari kengerian realita yang terjadi di Gaza,” ungkap Youmna dalam Konferensi Aktivis Palestina Asia Pasifik untuk Al-Quds dan Palestina di Hotel Savoy Homann Bandung , Minggu (25/5/2025).

Ia melanjutkan bahwa sesaat setelah siaran langsung tersebut berakhir, sebanyak 10 ledakan misil susulan meluluhlantakkan bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Menurut Youmna, insiden ini hanyalah sebagian kecil dari teror yang terus berlanjut di bulan-bulan berikutnya.

Youmna juga menceritakan peristiwa dramatis di kamp pengungsian Jabaliya , ketika sebuah ledakan hebat hampir merenggut nyawanya. Saat itu, ia bahkan telah menitipkan pesan kepada tim pemberitaan Al Jazeera di Doha, Qatar , agar keluarganya mencari jasadnya jika ia tidak lagi memberi kabar.

“Saya hampir terbunuh di kamp pengungsian Jabaliya. Tiga rumah di sekitar saya hancur total. Israel kemudian membombardir lagi, semua orang berteriak dan menyelamatkan diri. Saya menelepon ke Doha, meminta mereka agar keluarga mencari jasad saya di sana jika saya meninggal dunia,” ucapnya dengan suara bergetar.

Beruntung, Youmna selamat meskipun tubuhnya sempat terlontar beberapa meter akibat ledakan. Saat pulang ke rumah, ia menangis tersedu-sedu, hingga anak perempuannya yang berusia 8 tahun menghiburnya dengan kalimat yang menguatkan.

“Dia bilang, ‘ibu tidak boleh menangis, kalau ibu menangis kita tidak akan bisa selamat’. Sejak saat itu sampai sekarang, saya tak pernah lagi menangis apapun yang terjadi. Saya bahkan kesulitan untuk menangis, karena takut tidak bisa bangkit lagi,” tutur Youmna.

Ia menambahkan bahwa banyak peristiwa di lapangan yang membuat hatinya hancur, terutama saat melihat anak-anak terluka atau tewas di bawah reruntuhan. Meski demikian, ia dan rekan-rekannya tetap harus menjalankan tugas sebagai wartawan untuk mendokumentasikan tragedi tersebut.

“Di samping sebagai wartawan, kita juga manusia. Saya seorang ibu, dan setiap kali melihat anak-anak terluka atau terhimpit di bawah reruntuhan, itu membuat hati saya hancur,” katanya.

Pernyataan senada disampaikan oleh Maher Atiya Abu Qouta , seorang juru kamera Al Jazeera di Gaza. Ia, yang telah meliput berbagai konflik sejak 1997 , mengaku trauma akibat banyaknya peristiwa kelam yang ia saksikan di lapangan.

“Kami sering terjebak dilema antara harus membantu korban dulu atau meliput peristiwanya dulu. Sampai sekarang, saya masih bisa jelas mencium bau darah dan bau hangus dari korban-korban yang tewas terbakar hingga jadi abu,” paparnya.

Maher menambahkan bahwa jurnalis di Gaza sering kali menjadi orang pertama yang tiba di lokasi peristiwa, bahkan sebelum ambulans atau tim medis lainnya datang. Situasi ini, kata Maher, adalah hal yang tidak bisa dihindari.

“Orang-orang lain di dunia mungkin bisa dengan mudah mengganti channel televisi mereka ketika sudah tidak sanggup melihat peristiwa di Gaza. Tapi kami tidak punya privilese itu. Kita harus ada di sana dan melalui semuanya, karena ini adalah tugas dan tanggung jawab kami. Dokumentasi kami adalah bentuk tanggung jawab kami untuk para korban yang gugur,” tutur Maher.

Sumber: detik.com

Share.
Leave A Reply

Exit mobile version