Breakingnewsbandung.com – BANDUNG | Rencana pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi warga Palestina di Jalur Gaza menuai sejumlah pertanyaan hukum internasional. Dr. Diajeng Wulan Christianti, pakar Hukum Humaniter Internasional dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), menyebut bahwa rencana evakuasi harus dibaca dalam konteks hukum humaniter, terutama terkait wilayah pendudukan dan hak warga Gaza untuk meninggalkan wilayah tersebut.
Christianti menjelaskan bahwa dalam situasi wilayah pendudukan seperti Gaza, warga tidak memiliki hak mutlak untuk keluar karena mereka tetap berada di bawah kendali penguasa pendudukan, yaitu Israel. Setiap upaya perpindahan massal, termasuk dalam bentuk evakuasi kemanusiaan, dapat dikategorikan sebagai forced displacement atau pemindahan paksa jika dilakukan tanpa persetujuan atau melibatkan tekanan pada warga Gaza.
“Hak untuk meninggalkan wilayah itu tidak secara otomatis dimiliki warga Gaza. Bahkan evakuasi yang bertujuan membantu mereka bisa saja dianggap sebagai pelanggaran hukum jika tidak memenuhi prinsip-prinsip Konvensi Jenewa IV,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengacu pada Pasal 49 Konvensi Jenewa IV , yang melarang penguasa pendudukan melakukan pemindahan penduduk secara paksa, kecuali dalam kondisi darurat militer ekstrem dan bersifat sementara. Menurutnya, evakuasi besar-besaran warga Gaza ke luar wilayah dapat dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap ketentuan ini.
Christianti menekankan, solidaritas internasional kepada rakyat Palestina seharusnya difokuskan pada upaya diplomasi dan negosiasi untuk gencatan senjata, bukan pada pemindahan populasi. Solusi jangka panjang, menurut dia, adalah membangun kembali wilayah Gaza agar layak ditinggal, bukan mengungsikan warganya.
Pandangan berbeda disampaikan oleh Bilal Dewansyah, Ph.D. Cand., pakar Hukum Pengungsi dari Departemen Hukum Tata Negara Unpad. Ia menyoroti posisi Indonesia yang belum meratifikasi Konvensi 1951 atau Protokol 1967 tentang Status Pengungsi , meski faktanya Indonesia sudah menjadi tempat transit bagi ribuan pengungsi global.
Menurut Bilal, kerangka hukum domestik seperti UU Keimigrasian dan Perpres No. 125 Tahun 2016 cenderung membatasi kedatangan pengungsi, termasuk dari Palestina. Selain itu, alokasi anggaran nasional untuk penanganan pengungsi masih sangat minim, sehingga muncul pertanyaan besar apakah Indonesia siap menampung warga Gaza jika rencana evakuasi benar-benar direalisasikan.
Ia juga mengingatkan adanya potensi diskriminasi dalam perlakuan terhadap pengungsi, terutama jika pengungsi Palestina mendapat skema khusus yang berbeda dari pengungsi lain. “Apakah langkah ini akan bertentangan dengan prinsip non-refoulement , atau justru menciptakan ketidakadilan bagi pengungsi lain?” tanyanya.
Selain itu, Bilal mempertanyakan bagaimana pemerintah akan menjamin hak kembali (right to return ) bagi warga Gaza yang dievakuasi, mengingat sejarah pengusiran yang telah berlangsung sejak Nakba 1948.
Kedua pandangan akademis ini memberikan perspektif penting atas rencana evakuasi warga Gaza yang digagas oleh pemerintah Indonesia, baik dari sisi hukum humaniter maupun hukum pengungsi internasional.
Sumber: pikiran-rakyat.com