Breakingnewsbandung.com – JAKARTA | Mahkamah Konstitusi (MK) tengah menyelenggarakan sidang uji materi terhadap Undang-Undang Tipikor , khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001. Sidang ini membahas potensi multitafsir dalam rumusan pasal yang dinilai rawan disalahgunakan dalam penegakan hukum korupsi.
Salah satu pihak pemohon menghadirkan Chandra M. Hamzah , mantan Wakil Ketua KPK, sebagai ahli dalam sidang yang digelar pada Rabu (18/6/2025). Ia menyoroti ketidakjelasan redaksi dalam kedua pasal tersebut, yang memungkinkan interpretasi luas hingga bisa menjerat siapa saja, termasuk pedagang kecil seperti penjual pecel lele yang berdagang di trotoar .
Menurut Chandra, jika pasal-pasal itu diterapkan secara tekstual, maka setiap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara dapat dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi. Dalam kasus pedagang di trotoar, ia menjelaskan bahwa hal ini bisa dianggap sebagai penggunaan fasilitas umum milik negara untuk keuntungan pribadi, sehingga memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1).
“Dengan logika ini, bahkan penjual pecel lele bisa dijerat dengan pasal korupsi. Ini adalah contoh salah kaprah penggunaan UU Tipikor,” kata Chandra saat memberikan keterangan dalam sidang MK di Jakarta, Senin (23/6/2025).
Ia menambahkan, rumusan delik dalam UU Tipikor tidak boleh multitafsir atau bersifat ambigu karena bertentangan dengan prinsip lex certa dan lex stricta , yaitu azas kepastian hukum dan pembatasan interpretasi bebas dalam ranah pidana.
Chandra juga mengkritisi frasa “setiap orang” dalam pasal-pasal tersebut. Menurutnya, frasa ini tidak tepat sasaran karena bukan semua warga memiliki jabatan atau kedudukan yang rentan korupsi. Ia menyarankan agar rumusan UU disesuaikan dengan standar internasional, khususnya Article 19 UNCAC , yang lebih spesifik menargetkan pegawai negeri dan penyelenggara negara.
Selain Chandra, Amien Sunaryadi , mantan Wakil Ketua KPK periode 2003–2007, turut hadir sebagai ahli. Ia menyampaikan keprihatinan atas dominasi penegakan hukum yang fokus pada korupsi berupa kerugian keuangan negara, sementara kasus suap justru menjadi jenis korupsi paling dominan di lapangan.
“Data menunjukkan bahwa korupsi jenis suap lebih banyak terjadi dibandingkan kerugian negara. Namun selama ini aparat penegak hukum cenderung mengejar kasus korupsi keuangan negara,” ujarnya.
Amien menilai pendekatan seperti ini tidak cukup efektif untuk menciptakan sistem antikorupsi yang komprehensif dan adil. Ia mendorong reformasi substansial dalam UU Tipikor agar penegakan hukum lebih tepat sasaran dan sesuai realitas di lapangan.
Sidang ini menjadi penting untuk menentukan apakah pasal-pasal bermasalah dalam UU Tipikor akan direvisi atau dipertahankan, serta bagaimana Indonesia dapat memperbaiki kerangka hukum antikorupsinya agar lebih presisi dan tidak merugikan kelompok yang bukan pelaku korupsi struktural.
Sumber: pikiran-rakyat.com