Breakingnewsbandung.com – JAKARTA | Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menegaskan bahwa pemberhentian pimpinan KPK hanya dapat dilakukan oleh Presiden. Menurutnya, hal ini sesuai dengan prinsip hukum administrasi negara. Namun, dalam konteks pimpinan KPK, proses pemberhentian juga harus merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Pernyataan ini disampaikan Johanis Tanak sebagai tanggapan terhadap keputusan DPR RI yang kini memiliki kewenangan untuk memberhentikan hakim konstitusi, hakim agung, dan pimpinan KPK melalui mekanisme uji kepatutan dan kelayakan. Kewenangan tersebut diatur dalam Tata Tertib (Tatib) baru DPR yang disahkan pada Selasa, 4 Februari 2025.
“Betul, presiden yang berwenang memberhentikan pimpinan KPK. Namun, surat keputusan pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019, yang mengatur syarat-syarat pemberhentian pimpinan KPK,” kata Johanis kepada wartawan, Kamis, 6 Februari 2025.
Selain oleh Presiden, pemberhentian pejabat negara juga dapat dilakukan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini berdasarkan gugatan yang diajukan oleh individu atau kelompok yang merasa kepentingannya dirugikan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
“Surat keputusan pengangkatan dapat dinyatakan batal atau tidak sah oleh putusan PTUN, jika ada gugatan dari orang atau badan yang merasa kepentingannya dirugikan,” jelas Johanis.
Lebih lanjut, Johanis menyoroti bahwa Tata Tertib DPR yang baru bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, apabila ada pihak yang merasa kepentingannya dirugikan oleh Tatib tersebut, mereka dapat mengajukan permohonan judicial review (JR) atau uji materiil ke Mahkamah Agung (MA).
“Betul, Tatib DPR bertentangan dengan Undang-Undang. Hal ini dapat menjadi dasar untuk mengajukan permohonan judicial review ke MA,” tegas Johanis.